Senin, 12 April 2010

Geografis Pulau Bali




Bali dikenal sebagai Pulau Dewata (island God/island Paradise) merupakan salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia bahkan dunia. Kuta, Sanur, Nusa Dua, Bedugul, Ubud, Sukawati, Lovina, dan lain lain merupakan tempat wisata yang terkenal di Bali. Bali adalah sebuah pulau di Indonesia, sekaligus menjadi salah satu provinsi Indonesia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia.


Sejarah Bali

Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau. Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya orang-orang Hindu dari India pada 100 SM. Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India, yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, diantaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Majapahit (1293–1500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis, dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali. Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi permanen, yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur, dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan, yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya.
Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah.
Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II, dan saat itu seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan Bali ‘pejuang kemerdekaan’. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang.
Pada 20 November 1940, pecahlah pertempuran Puputan Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya, dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir.
Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta.
Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia.
Letusan Gunung Agung yang terjadi di tahun 1963, sempat mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia.
Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari 100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian di masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum.
Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing, dan menyebabkan industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini.


Peta Geografis

Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25?23? Lintang Selatan dan 115°14?55? Lintang Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.

Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.

Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya.

Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.

Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan.

Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701 desa/kelurahan.

Penduduk Bali

Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas 92,3% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Islam, Protestan, Katolik, dan Buddha.

Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di Bali adalah Bahasa Indonesia, Bali, dan Inggris khususnya bagi yang bekerja di sektor pariwisata.

Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya di Bali, dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma; meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang.

Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga (dan bahasa asing utama) bagi banyak masyarakat Bali, yang dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri pariwisata. Para karyawan yang bekerja pada pusat-pusat informasi wisatawan di Bali, seringkali juga memahami beberapa bahasa asing dengan kompetensi yang cukup memadai.

Sumber: astrobali.com › BLOG › Info Wisata Bali

Kerajinan Tangan dari Bali





Kerajinan Bali sudah lama menjadi daya tarik untuk masyarakat Indonesia dan dunia. Kerajinan Bali menjadi kerajinan andalan Bali yang paling dicari dan sangat digemari karena kerajinan tangan dari bali ini begitu unik dan menjadi ciri khas yang dapat dijadikan sebagai oleh-oleh atau souvenir bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Kerajinan tangan Bali sangat khas mengingat di Bali begitu kental seni dan budaya yang ada. Dengan adanya seni dan budaya di Bali, menghasilkan produk-produk kerajinan yang bernilai seni tinggi serta bercitarasa tinggi, sehingga menjadi produk kerajinan tangan yang selalu dicari wisatawan domestik dan juga manca negara.

Tari Legong



Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.
Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.
Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.
Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.


Beberapa tari legong

Terdapat sekitar 18 tari legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan), Badung (Binoh dan Kuta), Denpasar (Kelandis), dan Tabanan (Tista).

Legong Lasem (Kraton)

Legong ini yang paling populer dan kerap ditampilkan dalam pertunjukan wisata. Tari ini dikembangkan di Peliatan. Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang legong dan seorang condong. Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua legong yang menarikan legong lasem. Repertoar dengan tiga penari dikenal sebagai Legong Kraton. Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut. Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja Daha.

Legong Jobog

Tarian ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya. Karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera., dan pertempuran tidak ada hasilnya.

Legong Legod Bawa

Tari ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tatkala mencari rahasia lingga Dewa Syiwa.

Legong Kuntul

Legong ini menceritakan beberapa ekor burung kuntul yang asyik bercengkerama.

Legong Smaradahana

Legong Sudarsana

Mengambil cerita semacam Calonarang.

Beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.

(sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Tarian Bali



Sejarah Tari Bali

Tari bali merupakan bagian organik dari masyarakat pendukungnya dan perwatakan dari masyarakatnya tercermin dalam tari. (I Made Bandem, 1983). Menurut struktur masyarakatnya, seni tari bali dapat dibagi menjadi 3 (Tiga) periode yaitu:
1. Periode Masyarakat Primitif (Pra-Hindu) (20.000 S.M-400 M)
2. Periode Masyarakat Feodal (400 M-1945)
3. Periode Masyarakat modern (sejak tahun 1945)

Masyarakat Primitif (Pra-Hindu)

Pada zaman Pra-Hindu kehidupan orang-orang di Bali dipengaruhi oleh keadaan alam sekitarnya. Ritme alam mempengaruhi ritme kehidupan mereka. Tari-tarian meraka menirukan gerak-gerak alam sekitarnya seperti alunan ombak, pohon ditiup angin, gerak-gerak binatang dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk gerak semacam ini sampai sekarang masih terpelihara dalam Tari Bali. Dalam zaman ini orang tidak saja bergantung kepada alam, tetapi mereka juga mengabdikan kehidupannya kepada kehidupan sepiritual. Kepercayaan mereka kepada Animisme dan Totemisme menyebabkan tari-tarian mereka bersifat penuh pengabdian, berunsurkan Trance (kerawuhan), dalam penyajian dan berfungsi sebagai penolak bala. Salah satu dari beberapa bentuk tari bali yang bersumber pada kebudayaan Pra-Hindu ialah sang hyang.


Masyarakat Feodal

Pada masyarakat feodal perkembangan Tari Bali ditandai oleh elemen kebudayaan hindu. Pengaruh hindu dibali berjalan sangat pelan-pelan. Dimulai pada abad VII yaitu pada pemerintahan raja ugra sena di Bali. Pada abad X terjadi perkawinan antara raja udayana dengan mahendradatta, ratu dari jawa timur yang dari perkawianan tersebut lahir raja airlangga yang kemudian menjadi raja di jawa timur. Sejak itu terjadi hubungan yang sangat erat antara jawa dan bali. Kebudayaan bali yang berdasarkan atas penyembahan leluhur ( animisme dan totemisme) bercampur dengan Hinduisme dan budhisme yang akhirnya menjadi kebudayaan hindu seperti yang kita lihat sekarang catatan tertua yang menyebutkan tentang berjenis-jenis seni tari ditemui di jawa tengah yaitu batu bertulis jaha yang berangka tahun 840 Masehi. Pada zaman Feodal tari berkembang di istana, berkembang juga dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kepentingan agama yang tidak pernah absen dari tari dan musik.


Masyarakat Modern

Didalam masyarakat modern yang dimulai sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, patromisasi dari kerajaan-kerajaan di zaman Feodal mulai berkurang. Pada masa ini banyak diciptakan kreasi-kreasi baru, walaupun kreasi baru itu masih berlandaskan kepada nilai tradisional; yaitu hanya perobahan komposisi dan interpretasi lagu kedalam gerak.


Pengertian Tari

Tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dengan gerakan-gerakan tubuh manusia. Dari pengertian tersebut tampak dengan jelas bahwa hakekat daripada tari adalah gerak. Sehubungan dengan hal tersebut dalam buku Kamus umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa: “Tari adalah gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama dan biasanya diiringi dengan bunyi-bunyian (seperi musik, gamelan)”. Poerwadarminta, (1976 : 1020). Gerak-gerak dari bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu. Selanjutnya dalam buku pendidikan seni tari disebutkan bahwa “seni tari adalah ungkapan nilai-niliai keindahan dan keluhuran lewat gerak dan sikap”. (Wardhana, 1990:8)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan seni tari dalam judul skripsi ini adalah ekspresi jiwa manusia yang diwujudkan melalui gerak keseluruhan tubuh yang indah. Gerak ini ditata dengan irama lagu pengiring sesuai dengan lambang watak dan tema tari.

Secara garis besar dasar-dasar Tari Bali dibagi menjadi 3 bagian yaitu : Agem, Tandang, dan Tangkep. Djayus dalam Teori Menari Bali menyatakan dasar tari Bali adalah Agem, Tandang, dan Tangkep. Sebagai gambaran lebih jelas mengenai aspek dasar tari Bali akan dijelaskan sebagai berikut :
Agem adalah, sikap pokok yang mengandung suatu maksud tertentu yaitu suatu gerak pokok yang tidak berubah-ubah dari satu sikap pokok ke sikap pokok yang lain.Agem terdiri dari bermacam-macam bentuk misalnya, mungkah lawang, ngerajasinga, nepuk kampuh, ngeteg-pinggel, dan lain-lain.Tandang adalah cara memindahkan suatu gerakan pokok kegerakan pokok yang lain, sehingga menjadi satu rangkaian gerak yang bersambungan. Tandang terdiri dari : Abah yaitu perpindahan gerak kaki menurut komposisi tari; dan tangkis yaitu perkembangan tangan seperti luknagasatru, nerudut dan ngelimat.Tangkep adalah mimik yang memancarkan penjiwaan tari yaitu suatu ekspresi yang timbul melalui cahaya muka.Tangkep terdiri dari beberapa macam, misalnya : luru, yaitu rasa gembira yang luar biasa yang diwujudkan dengan mimik; encahcerunggu, perubahan dari suatu mimik kemimik yang lain, dan maniscerungu, adalah senyum sambil mendelikan mata. Tangkep itu adalah sangat menentukan kematangan tari tanpa penjiwaan, tari tidak tampak hidup.Demikianlah agem, tandang dan tangkep merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah – pisahkan. Syarat – syarat kesempurnaan suatu tarian sudah tercakup di dalamnya.
Ketiga faktor tersebut di atas mempunyai makna kesatuan antara wiraga, wirasa dan wirama demi kesempurnaan tari Bali.


Klasifikasi Tari Bali

Berdasarkan jenisnya tari Bali dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu: 1) jenis tari menurut fungsinya, 2) jenis tari menurut koreografinya, 3) jenis tari menurut cara penyajiannya, 4) jenis tari menurut tema atau isinya.

*Jenis Tari Menurut Fungsinya

1. Seni tari Wali/Sakral (religius dance), tarian ini berfungsi sebagai pelengkap pelaksana dalam upacara keagamaan yang dilakukan di Pura-pura dan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan upacara agama, sebagai pelaksana upacara dan upakara agama tidak pakai lakon contohnya tari Rejang, tari Pendet.

2. Seni tari Bebali/ceremonial dance, adalah seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara/upakara di Pura-pura atau di luar pura pada umumnya memakai lakon, contohnya Drama Tari, Topeng, Arja.


3. Seni tari Bali-balian (secular dance), adalah segala tari yang mempunyai unsur dan dasar tari dari seni tari yang luhur yang tidak tergolong tari wali ataupun tari bebali serta mempunyai fungsi sebagai seni serius dan seni hiburan. Contohnya, tari Legong Keraton, tari Joged (Bandem, 1991),Sedangkan dalam buku pengantar pengetahuan tari menyatakan bahwa tari menurut fungsinya dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Tari Pura (Tari Wali), pada mulanya dalam serangkaian upacara di Pura Tari Upacara adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kronologis upacara-upacara tersebut. Tarian ini biasa diadakan pada karya (piodalan besar di Pura). Tarian ini dilaksanakan sejak mulai sampai berakhirnya upacara dengan gerak-gerik ritmis yang simbiolis meskipun belum boleh dikatakan tari sepenuhnya tetapi sudah mengarah kepada bentuk-bentuk tari harus dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Contohnya: Tari Rejang, dan Tari Pendet.

2. Tari Ritual (Tari Bebali), tari yang erat hubungannya dengan upacara adat yang mengharapkan keselamatan dalam hidup dan kehidupan. Contohnya: Tari baris, Tari Sanghyang, Tari Barong.

3. Tari Hiburan (pergaulan), sesuai dengan fungsinya, tarian ini adalah sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa sukaria, rasa gembira, dan untuk pergaulan. Pada umumnya tarian ini di Bali ditarikan oleh wanita, tetapi ada pula yang ditarikan oleh pria, namun melukiskan peran wanita. Cetusan rasa gembira merupakan pergaulan antara pria dan wanita. Contohnya: Joged Bumbung, dan Tari Leko.


Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut fungsinya tari dibedakan menjadi tiga yaitu: Tari Wali merupakan tarian sakral yang hanya ditarikan di tempat-tempat suci, Tari Bebali, yang masih ada hubungannya dengan upacara adat baik di Pura maupun di luar Pura yang sudah memakai lakon, tari Bali-balian, tarian yang sudah mengandung unsur seni dan hiburan.

Jenis Tari Menurut Koreografi (Pencipta/Penggubah)

Artika dalam bukunya Pendidikan Seni Tari menyatakan, jenis-jenis tari menurut koreografinya dapat dibagi 3 yaitu:

1. Tarian Rakyat, adalah tarian yang sudah mengalami perkembangan masyarakat primitif sampai sekarang. Tarian ini sangat sederhana dan tidak begitu mengindahkan norma-norma keindahan dan bentuk yang standar. Pada zaman masyarakat primitif tarian ini merupakan Tarian Sakral yang mengandung magis. Gerak-gerik tariannya sangat sederhana karena yang dipentingkan adalah keyakinan yang terletak di belakang tarian tersebut., contohnya tarian meminta hujan, tarian untuk mempengaruhi binatang buruan. Tarian di Indonesia yang berpijak Tarian Primitif misalnya Tari Sanghyang, Tari Barong, dan sebagainya. Sedangakan yang masih merupakan ungkapan kehidupan rakyat yang pada umumnya merupakan tari gembira atau tarian pergaulan/sosial misalnya tari joged.

2. Tari Klasik, adalah tari yang semula berkembang dikalangan Raja dan bangsawan yang telah mencapai kristalisasi artistik yang tinggi sehingga memiliki nilai tradisional. Tari klasik merupakan tarian dipelihara di istana raja-raja dan bangsawan yang telah mendapat pemeliharaan yang baik sekali bahkan sampai terjadi adanya standarisasi di dalam koreografinya.

3. Tari Kreasi Baru, adalah tarian yang sudah diberi pola garapan baru, tidak lagi terikat kepada pola-pola yang telah ada dan lebih menginginkan kebebasan dalam hal ungkapan meskipun sering gerakannya berbau tradisi.

Jenis Tari menurut Cara Penyajiannya

Djayus (1979:11) menyatakan jenis tari menurut penyajiannya dibagi 3 yaitu:

1. Tari Tunggal, adalah tarian yang ditarikan oleh satu orang.
2. Tari duet, adalah tarian yang ditarikan oleh dua orang.
3. Tari massal, adalah tarian yang ditarikan oleh banyak orang.

Sedangkan Artika menyatakan untuk penyajian tari ada 3 yaitu:

1. Tari Tunggal, adalah tari pertunjukan yang hanya ditarikan oleh satu orang penari.
2. Tari berpasangan/Tari Duet, adalah tarian yang dilakukan oleh dua peran, diantara peran yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi atau ada kaitan yang erat di dalam koreografinya baik berpasangan sejenis maupun berpasangan tidak sejenis.
3. Tari Kelompok/Massal, adalah tarian ini bisa juga disebut drama taro karena selain diuraikan banyak orang juga membawakan suatu cerita lengkap atau sebagian.


Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tari menurut penyajiannya dapat dibagi 3 yaitu: 1) Tari Tunggal (dibawakan satu orang) 2) Tari Berpasangan (dibawakan oleh dua orang peran, dimana peran yang satu dengan lain saling melengkapi), 3) Tari Massal tarian yang dibawakan oleh banyak orang, juga bisa membawakan suatu cerita lengkap atau sebagian yang disebut Drama tari.

Jenis Tari Menurut Cara Isi/Temanya

Bandem (1983:22) menyatakan jenis tari menurut isi dapat dibagi 4 yaitu:

1. Tari Panthomin, yaitu tarian yang menirukan gerak-gerik dari objek yang terdapat diluar diri manusia.
2. Tari Erotik, adalah tarian yang mengandung isi yang erotis atau percintaan.
3. Tari Eroik/Tari Kepahlawanan, yaitu tarian yang mempunyai latar belakang penghindaran terhadap penderitaan (Tari Barong) dan tarian Perang (Tari Baris).
4. Drama Tari yaitu tarian yang membawakan suatu cerita biasanya ada yang berdialog dan ada yang tidak memakai dialog.

(sumber :http://forumgunturnet.blogspot.com/)

Senin, 29 Maret 2010

Sesajen



Sesajen Bali

Upakara (Sesajen)
Adapun upakara atau sesajen dan sarana yang merupakan inti adalah : Banten saji Dewa Putih Kuning, Jerimpen Agung, Sesayut, Pangulapan, Pengambyan, Benang Tri Datu (tiga .warna : merah, putih, hitam) satu tukel (satu gulung),uang kepeng 225 biji yang diikatkan pada benang
tridatu. Sebuah tutup (tombak) yang diikat dengan benang tridatu dialasi l buah kelapa yang dikupas serabutnya, diisi beras, pada ujung tombak dilengkapi dengan "Sat- sat" dari janur di samping sebuah daksina palinggih dan kain sebagai Tigasana.
Penjelasan:
Jumlah dan sarana upakara (sesajen) disesuaikan dengan kemampuan (desa, kala, patra) serta petunjuk Pinandita atau Pandita.


Para penghuni Bali yang tidak tampak – dewa, roh para leluhur, dan roh-roh jahat – diperlakukan oleh penduduk Bali sebagai tamu kehormatan dengan persembahan sesajen (banten) dalam berbagai bentuk, warna dan isi. Pemberian ini adalah pemberian terbaik – sebagai pernyataan terima kasih kepada para dewa, dan membujuk roh-roh jahat agar tidak mengganggu keharmonisan kehidupan.

Sesajen sederhana dipersembahkan setiap hari, sedangkan sesajen istimewa dipersiapkan untuk acara-acara keagamaaan tertentu. Sebagai contoh, setelah makanan harian dipersiapkan, sedikit bagian dari makanan tersebut disisihkan untuk para dewa penghuni rumah sebelum keluarga mengkonsumsi makanan tersebut. Selain itu, para dewa juga disajikan canang kecil – tray daun kelapa yang diisi berbagai jenis bunga dan sirih sebagai simbol keramah-tamahan.

Sebagai persembahan yang diberikan untuk roh yang lebih tinggi, banten ini harus diatur sedemikian rupa agar menarik, dan tentunya hal ini membutuhkan pengorbanan waktu dan tenaga yang cukup besar. Daun-daun dipotong dan dirangkai sedemikian rupa menjadi bentuk-bentuk yang menarik (jejaitan). Berbagai jajan dibentuk menjadi lempengan tipis dan bahkan menjadi bahan dominan banten yang memiliki arti simbolis yang kuat selain fungsi dekoratifnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa persiapan banten merupakan bagian dari bentuk seni tradisi yang penting yang masih
berlaku di Bali.

Sesajen Upacara
Untuk setiap upacara yang dilakukan, diperlukan sesajen yang beraneka ragam dan dalam jumlah besar. Terdapat ratusan jenis sesajen – nama, bentuk, ukuran dan bahan yang digunakan begitu beraneka ragam. Selain itu, terdapat juga perbedaan antara sesajen yang dipersembahkan oleh satu daerah dan daerah lain, dan bahkan dari satu desa ke desa lain. Tetapi bentuk dasar dari sesajen itu sendiri tidak jauh berbeda. Nasi, buah-buahan, kue, daging dan sayuran ditata sedemikian rupa dalam wadah yang dialas dengan daun kelapa dan dihiasi dengan dekorasi dari daun kelapa, yang disebut sampian, yang juga berfungsi sebagai wadah tempat sirih dan kembang.

Bantenan tertentu digunakan pada banyak upacara umum, sementara bantenan khusus digunakan untuk upacara-upacara khusus. Tatanan sesajen dasar membentuk kelompok-kelompok (soroh) mengelilingi bantenan inti, dan karena upacara dapat dilakukan dengan tingkat elaborasi yang berbeda-beda, tergantung tujuan upacara tersebut, arti dan status sosial dari para pesertanya, maka ukuran dan isi dari kelompok-kelompok sesajen ini juga berbeda berdasarkan elaborasi dari upacara tersebut.

Ukuran sesajen dapat diperbesar atau diperkecil agar sesuai dengan situasi upacara. Misalnya, bantenan pula gembal biasa berisi, antara lain, berlusin-lusin adonan beras yang disajikan dalam wadah daun kelapa. Pada upacara yang lebih tinggi, sesajen ini dibuat menjadi tatanan menara kue berwarna-warni dalam bentuk yang spektakuler, yang tingginya dapat mencapai beberapa meter.

Selain sesajen masal yang dikaitkan dengan upacara tertentu, setiap keluarga membawa sesajen mereka sendiri dalam ukuran besar dan berwarna-warni pada festival pura. Barisan dan kelompok wanita yang beramai-ramai membawa sesajen mereka menuju pura menghasilkan satu pemandangan yang spektakuler.

Di Pura, sesajen ini diletakkan ditempat yang sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Sesajen untuk para dewa dan roh para leluhur diletakkan di altar yang tinggi, sedangkan sesajen untuk roh-roh jahat diletakkan dibagian dasar. Perbedaan yang penting disini adalah sesajen yang diberikan untuk para roh jahat dapat berisi daging mentah, sementara sesajen untuk para dewa dan roh para leluhur bisa tidak berisi daging mentah. Sesajen khusus yang menjadi persyaratan suatu upacara diletakkan pada sebuah pavilion atau podium temporer.

Pada saat upacara dilakukan, seorang pendeta akan menyucikan sesajen yang ada dengan memercikkan air suci dan membacakan doa atau mantra. Asap dupa mengantar inti persembahan tersebut ke tujuannya masing-masing. Persembahan sesajen harian dirumah juga dilakukan dengan cara yang sama, yaitu dengan menggunakan air suci dan api. Setelah upacara selesai, dan “inti” dari sesajen ini telah terbakar, sesajen ini dapat dibawa pulang kerumah dan dikonsumsi oleh mereka yang melakukan penyembahan.

(Sumber : www.surgabali.biz/sesajen.php)

Upacara Ngaben


(Sumber : sandat.wordpress.com)

Upacara Ngaben

Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.

Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah. Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.

Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.

Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga, “Nyiramin” ini dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat. Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali. Sesampainya di kuburan, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat di “Lembu” yang telah disiapkan diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.

Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.

(sumber :ankerzone.wordpress.com)

Leak


(Sumber : lanangbali.com)

Leak

Dalam mitologi Bali, Leak adalah penyihir jahat. Le artinya penyihir dan ak artinya jahat. Leak hanya bisa dilihat di malam hari oleh para dukun pemburu leak. Di siang hari ia tampak seperti manusia biasa, sedangkan pada malam hari ia berada di kuburan untuk mencari organ-organ dalam tubuh manusia yang digunakannya untuk membuat ramuan sihir. Ramuan sihir itu dapat mengubah bentuk leak menjadi seekor harimau, kera, babi atau menjadi seperti Rangda. Bila perlu ia juga dapat mengambil organ dari orang hidup.


Kepercayaan

Diceritakan juga bahwa Leak dapat berupa kepala manusia dengan organ-organ yang masih menggantung di kepala tersebut. Leak dikatakan dapat terbang untuk mencari wanita hamil, untuk kemudian menghisap darah bayi yang masih di kandungan. Ada tiga leak yang terkenal. Dua di antaranya perempuan dan satu laki-laki.

Menurut kepercayaan orang Bali, Leak adalah manusia biasa yang mempraktekkan sihir jahat dan membutuhkan darah embrio agar dapat hidup. Dikatakan juga bahwa Leak dapat mengubah diri menjadi babi atau bola api, sedangkan bentuk Leyak yang sesungguhnya memiliki lidah yang panjang dan gigi yang tajam. Beberapa orang mengatakan bahwa sihir Leak hanya berfungsi di pulau Bali, sehingga Leak hanya ditemukan di Bali.

Apabila seseorang menusuk leher Leak dari bawah ke arah kepala pada saat kepalanya terpisah dari tubuhnya, maka Leak tidak dapat bersatu kembali dengan tubuhnya. Jika kepala tersebut terpisah pada jangka waktu tertentu, maka Leak akan mati. Topeng leak dengan gigi yang tajam dan lidah yang panjang juga terkadang digunakan sebagai hiasan rumah.

(Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)